"Deprivatization"
Oleh: Dr. Hamid Fahmyn Zarkasyi
Ketika Ahmadiyah ditolak oleh umat Islam Indonesia dan ketika Saksi Jehovah ditolak oleh umat Katholik dan Protestan, negara ikut campur menjadi wasit. Ketika gelombang penistaan agama menyeruak di Amerika, pemerintah negara bagian Massachusetts di Amerika Serikat mengeluarkan undang-undang yang menghukum dan mendenda penista agama.
Pada saat Taslima Nasrin di Bangladesh menulis di koran The Statesman (tahun 1994), “…al-Qur’an harus direvisi secara menyeluruh” negara memvonis hukuman mati. Empat tahun kemudian, Ghulam Akbar, menghina Nabi Muhammad dan segera dihukum mati.
Tahun 2000 kelakuan Ghulam Akbar ditiru oleh Abdul Hasnain Muhammad Yusuf Ali, pengadilan pemerintah propinsi Lahore pun memutuskan hukuman mati. Di Mesir seorang yang mengaku Nabi langsung dihukum mati dan selesai.
Kisah-kisah itu membuktikan peran negara dalam menyelesaikan konflik agama mutlak perlu dan terus berjalan.
Bagi penganut sekularisme dan liberalisme kaaffah, negara tidak boleh ngurusi agama dan sebaliknya. Ini harga mati. Sebab agama dianggap sebagai domain pribadi. Privatisasi agama adalah sekularisasi. Sekularisasi telah menjadi tren sosial politik di Barat Eropa sejak abad Pencerahan (1720-1880).
Setengah abad yang lalu Smith (1970-1976) mendeklarasikan sekularisasi sebagai perubahan struktur dan ideologi yang sangat mendasar dalam proses pengembangan politik dan tren global modernisasi. Acuannya adalah figur-figur ilmuwan sosial abad 19 seperti Marx, Durkheim, Weber dan sebagainya. Jadi desakralisasi agama adalah satu paket dengan sekularisasi dan modernisasi masyarakat.
Ketika itu memang agama telah kehilangan relevansi sosial dan politiknya. Sebab politisi dari para pemuka agama semakin tidak cakap dan malah semakin tiranik. Kekuasaan tidak lagi di tangan agama, tapi ilmu. Dari situlah keluar jargon knowledge is power, ilmu adalah kekuasaan.
Lebih-lebih kalangan gereja menganggap pemisahan itu hampir seperti keniscayaan. Doktrin gereja itu sudah dikotomis, “Berikan hak kaisar kepada kaisar dan hak tuhan kepada tuhan" (Luke 21-25). Ditambah lagi suasana reformasi politik Eropa pada waktu itu begitu dominan sehingga ketegangan antara gereja dan negara adalah warna sejarah Eropa yang kelam.
Tapi tahun 1979 setelah terjadi revolusi Iran orang baru sadar bahwa tafsir modernisasi ternyata tidak tunggal dan kaku. Sejak saat itu agama dan politik yang sempat “talak tiga” di Eropa dan negara-negara jajahannya, rujuk kembali. Tapi masih dalam status nikah sirri. Orang mengakui tapi tidak berani terbuka. Tapi kenyataan sosial seperti mendorong ke arah sentralisasi agama ke ruang publik.
Orang, misalnya bertanya-tanya mengapa Perdana Menteri Inggris, David Cameron mesti sowan Paus Benedict XVI. Disitu ia mengungkapkan penyesalannya atas berkembangnya kultur relativisme dan sekulerisme di Barat. Ia juga menghargai sikap Paus yang menurutnya telah menggugah semua negara untuk bangkit dan berpikir melawan itu.
Di Amerika tahun 60-an J. F. Kennedy menyatakan bahwa agama dan keyakinan Presiden adalah urusan pribadi dan tidak bisa diberlakukan kepada bangsa dan sebaliknya. 50 tahun kemudian senator Pensylvania Rick Santorum menyanggahnya.
Dalam kuliahnya di the University of St. Thomas, ia tegaskan pemisahan gereja dan negara secara mutlak bukan dan tidak pernah menjadi model Amerika. Itu hanya model yang dipakai oleh negara-negara seperti Perancis dan Turkey, tapi tidak laku di Amerika, kecuali setelah Hakim Hugo Black melempar hal ini kedalam wacana publik.
Jeff Haynes, profesor pada Department of Politics and Modern History di University of London, mencoba menganalisa. Ormas keagamaan menjadi aktor politik karena agama merasa terancam oleh kebijakan-kebijakan sekuler.
Fenomena ini tersebar luas dan perlu kajian secara kasus per kasus. Konsekuensi dari intervensi itu bisa bermacam-macam. Agama terkadang menjadi sangat berperan dalam rekayasa politik. Demokrasi di Amerika Latin dan Eropa Timur tahun 80an tidak lepas dari peran gereja Katholik.
Jika Jeff diminta komentar tentang revolusi di Mesir, ia pasti melihat peran agamawan Islam maupun Kristen Coptic sangat besar. Salat Jamaah para pendemo dan doa para pemimpin Coptic di Lapangan Tahrir adalah no comment new. Kesuksesan menumbangkan Hosni Mubarak dirayakan dengan sujud syukur, bukan dengan minum-minum atau dansa-dansi. Disitu agama menjadi etos kerja pendemo.
Fenomena yang disebut Jeff terjadi di Inggris. Disana agama mulai menolak menjadi urusan pribadi. Gereja-gereja Katholik muncul kembali membawa suara moral, sosial dan bahkan politik.
Pada tahun 1996 misalnya mereka menyebarkan pamflet berjudul The Common Good and the Catholic Church’s Social Teaching. Pamflet itu adalah intervensi gereja terhadap konflik antara partai Buruh dan Konservatif. Menurut klaim mereka ini adalah kekuatan spiritual agama dan juga relevansi agama Katholik dengan demokrasi liberal, pluralisme, dan ekonomi pasar.
Memang dalam soal hubungan negara dan gereja Kristen berbeda dari Islam. Dalam Islam masjid bukan gereja dan tidak punya otoritas. Maka, sebenarnya, menurut P. J. Vatikiotis, (Lihat Islam and the State) apa yang dituntut gereja sebagai komunitas moral, penjaga hukum Tuhan, institusi kependetaan dan sekaligus komunitas politik lebih cocok dituntut oleh orang Islam.
Hidup dalam worldview Islam sebagai realitas fisik adalah ekspresi kehendak Tuhan. H. Dabashi (dalam T. Robbins & R. Robertson (eds.), Church-State Relations), bahkan tegas menyatakan “tidak ada dalilnya dalam Islam yang memisahkan kesalehan dengan politik, keduanya adalah perintah Tuhan. Meskipun dalam Islam otoritas agama dan politik dapat dipisahkan menjadi dua institusi sosial yang berdiri sendiri-sendiri, namun keduanya selalu berhubungan".
Jadi yang masih membela privatisasi agama jelas set back (mundur) setengah abad atau bahkan tiga abad. Kini agama telah berubah dari interest pribadi menjadi publik, dari urusan institusi menjadi konstitusi. Itulah makna "deprivatisasi agama" (deprivatization) yang akan terus dilawan oleh liberalisasi dan postmodernisasi.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar