Minggu, 21 September 2014

BAHKAN RAMADAN TAK MAMPU MEMBELI DOA ORANG TUA

Tidak ada komentar:
Assalamualaikum

Sebenarnya ini adalah sebuah cerpen yang saya kirim ke salah satu lomba menceritakan kisah Ramadan yang tak terlupakan. Isinya tentu adalah kisah hidup yang saya alami sendiri secara kenyataan, namun sedikit dibuat dengan model bahasa cerpen. Saya tidak begitu peduli apakah cerpen ini menang atau tidak nantinya. Justru yang saya pedulikan adalah pelajaran yang ingin saya bagikan kepada semua yang membaca kisah ini. Belajar dari pengalaman orang itu menyenangkan, karena kita tak perlu mengalami pahitnya gagal jika kita tidak melakukan apa yang menyebabkan orang itu gagal dalam pengalaman hidupnya. Ambil yang baik-baik, jangan lakukan apa yang seharusnya tidak saya lakukan dalam cerita ini.
Semoga dapat diambil pelajarannya.


===========================

            “Sudah kamu pasang kunci gembok untuk pagar belakang rumah?”Ibu bertanya. “Sudah Alif pasang daritadi sore, Bu.” Jawabku sambil terburu-buru mengunyah nasi.Malam ini adalah malam pertama bulan Ramadan.Wajar saja kalau malam ini aku begitu cepat makan.Aku ingin segera menuju ke masjid untuk sholat Tarawih.

            “Malam ini rumah kosong, Lif.Mau pada Tarawih.Makanya jangan lupa pintu-pintu rumah nanti digembok semua sebelum berangkat.” Lanjut Ibu.

            “Siap, Bu! Yuk buruan biar nggak kehabisan tempat.”

            Ramadan kali ituadalah Ramadan yang spesial bagiku. Ada banyak hal yang akan aku siapkan setelah Ramadan ini berakhir nanti. Salah satunya adalah tes penempatan instansi kerja yang akan aku hadapi tepat setelah Ramadan usai.

Aku adalah lulusan akuntansi dari sebuah perguruan tinggi kedinasan yang sangat berharap ingin menjadi seorang auditor. Sudah tak terhitung jumlahnya aku berkali-kali mengatakan impianku itu di depan orang tuaku.

"Kalau aku jadi auditor nanti, aku akan memilih menjadi auditor sistem informasi.Aku yakin sekali aku pasti dapat sukses di sana karena aku punya dasar IT yang cukup baik."Begitulah kira-kira caraku mengutarakan cita-citaku kepada orang tua.

Memang sebelum menjadi mahasiswa akuntansi, aku sempat mengenyam bangku kuliah Teknik Informatika selama satu tahun.Kemudian karena berbagai alasan dan pertimbangan akhirnya aku pindah.Sehingga aku masih punya bekal mengenai dunia informatika.Dan menjadi auditor sistem informasi adalah jalan untuk menggabungkan akuntansi dan informatika menjadi satu sekaligus menurutku.

Orang bilang tahun 2013 adalah tahun sial.Aku tak percaya itu. Justru aku punya firasat bahwa di tahun ini aku akan memperoleh sebuah hal yang besar. Aku harap itu adalah penempatan instansiku.

Orang juga bilang bahwa bulan Ramadan adalah bulan paling mujarab untuk bermunajat.Ketika orang memohon ampunan di bulan ini, maka dia diampuni.Ketika dia berhajad di bulan ini, maka hajadnya dikabulkan.Kalau yang ini aku sangat yakin dan percaya. Untuk itulah aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk membuat Ramadan tahun 2013 itumenjadi Ramadan terbaik sepanjang hidupku. Mudah-mudahan dengan begitu impianku bisa dikabulkan.

"Wah,alhamdulillahtahun ini sudah mulai bisa tarawih di masjid yang baru."Kataku seusai pulang tarawih.

"Ya,walaupun belum benar-benar jadi, tapi masjid yang baru ini akan diupayakan agar bisa menampung jamaah selama Ramadan.Sekalian agar jamaah bisa melihat bagaimana perkembangan masjid.Mungkin akan cukup banyak jamaah yang termotivasi memberi infaq untuk pembangunan masjid itu." Kata Ayah sambil berjalan pulang menuju rumah.

Jarak rumahku dan masjid tak cukup jauh tapi juga tak begitu dekat.Aku dan ayah sempat mengobrol beberapa topik selama kami berjalan.

Sudah aku rencanakan setelah sampai rumah nanti aku akan langsung ngaji dan tidur, supaya aku tidak terlambat sahur. Terlebih lagi aku ingin meningkatkan kualitas sholat malamku selama Ramadan ini. Aku ingin selama 30 hari penuh ke depan aku tidak absen untuk sholat Lail. Pokoknya harus menjadi Ramadan terbaik, demi menjadi auditor sistem informasi.

Aku pun tertidur.

"Bangun, Lif. Katanya minta dibangunin buat sholat Laildulu?"Suara Ibu membangunkanku dari tidur. "Bagus, Lif. Bulan Ramadan jangan disia-siain.Ibadahnya kudu lebih tekun.Biar hajadmu yang macem-macem itu diijabah semua.Wudu gih sana biar seger."

Aku yang semula ngantuk berat, mendadak semangat untuk mengambil air wudu setelah diingatkan oleh Ibu tentang impianku itu.Setelah itu kami sekeluarga menyantap sahur bersama.

"Alif, dispensernya mampet lagi.Kran air panasnya nggak mau ngalir," kata mbak Husna kakakku.

"Sekalian aja nanti siang dibawa ke tukang servis sambil nganter Ibu ke pasar," tambah Ibu.

Hari itu aku memang sedang libur.Sudah aku janjikan kepada Ibu untuk mengantarnya ke pasar. Bagiku, pergi berbelanja di pasar adalah hal yang cukup membuatku malas karena pasti akan memakan banyak waktu untuk melihat-lihat barang ini dan itu, padahal belum tentu beli.Yah, seperti itulah wanita. Namun hari ini aku sudah janji.

"Sip, kita bawa sekalian nanti, Bu."Jawabku.

Siangnya aku dan Ibu berangkat ke pasar naik mobil. Panasnya cuaca terik di siang kota Semarangcukup teratasi oleh suhu dalam mobil yang dingin. Berbelanja kebutuhan rumah tangga pun terjadi seperti yang biasa aku bayangkan.Meski memakan waktu cukup panjang, namun akhirnya selesai juga.

Kami berlanjut menuju ke tukang servis dispenser.Alhamdulillahpelayanannya cepat sehingga kami bisa segera pulang.

"Perasaan kita udah lama banget. Rupanya baru jam 1 siang ya, Bu." Kataku sambil nyetir mobil menuju rumah.

"Ya,namanya orang puasa, Lif.Kepinginnya cepet-cepet maghrib aja."Jawab Ibu.

Baru beberapa meter menuju rumah, tiba-tiba kepalaku pusing sekali. Mendadak rasanya seperti mau pingsan.

"Bu, kok Alif tiba-tiba pusing banget,ya.Rasanya kepala jadi berat banget."Aku memberitaukan kondisiku yang tiba-tiba aneh kepada Ibu.Bahkan nyetir mobil pun rasanya tidak bisa konsentrasi.

"Lho kok badanmu jadi panas begini, Lif?"Kata Ibu sambil memeriksa suhu kepalaku dengan telapaknya.Pelan-pelan aja nyetirnya.Nanti mampir ke apotek sekalian beli obat."

Dulu aku pernah terkena penyakit demam berdarah. Sayangnya, gejala penyakit itu sama persis seperti yang sedang aku rasakan sekarang. Aku khawatir kalau ternyata benar terulang kembali kisahnya.Pasar tempat kami belanja tadi memang cukup banyak nyamuk.

"Masih kuat nyetirnya, Lif?Atau istirahat dulu bentar?" Ibubertanya dengan penuh rasa khawatir."Kuat kok, Bu. Insha Allah."Aku berusaha menguatkan diri dari rasa pusing di kepala yang teramat.Jarak menuju rumahku memang lumayan jauh.

Akhirnya aku sampai di rumah.Tidak sempat aku memperhatikan kerapihan parkir mobilku, aku langsung ambruk di tempat tidur kamarku.

"Sholat dulu, Lif.Kalau tidak kuat berdiri ya sambil duduk atau berbaring."Lagi-lagi Ibu mengingatkanku perkara ibadah. Ah, nyetir mobil saja masih kuat, masak sholat tidak bisa. Aku berusaha bangkit dan mengambil air wudu untuk sholat. Bahkan aku paksakan diriku untuk tetap mengerjakan sunnahRawatib. Ini harus menjadi Ramadan terbaikku.

Setelah itu, kembali aku terkapar di tempat tidur.Badanku rasanya semakin panas.Kepalaku jauh lebih pusing dari yang sebelumnya. Entah penyakit apa yang tiba-tiba datang ini. Kondisi tubuhku saat inimembuatku tertidur.

"Lho, Alif sakit to, Bu?

Terdengar suara mbak Rini menyadarkanku dari tidur.Dia adalah kakak pertamaku.Rumahnya tak jauh dari sini.Dia bekerja sebagai dokter di Puskesmas dekat rumah.Mungkin Ibu memanggilnya untuk memeriksa keadaanku.

"Iya.Tiba-tiba Alif demam setelah dari pasar tadi.Coba kamu lihatkondisinya di kamar."Jawab Ibu sambil berjalan menuju ke kamar menghampiriku.

"Kamu aneh-aneh aja.Lagi bulan puasa yo jangan sakit."Kata mbak Rini kepadaku sambil memasang termometer di badanku."Emangnya siapa yang pingin sakit."Jawabku sekenanya.

Lima menit berlalu.Mbak Rini mencabut termometernya untuk melihat suhu tubuhku.

"Lah,kok sampai 39 lebih panasmu.Nanti obatnya jangan lupa diminum.Udah aku bawain."Mbak Rini kaget melihat suhu tubuhku.Aku tidak berkomentar apa-apa karena terlalu pusing.Pantas saja rasanya tidak karuan begini.Rupanya suhu tubuhku sampai setinggi itu.

"Wajahmu merah banget, Lif.Udah kamu batal aja.Dibatalin puasanya biar bisa minum obat terus cepet sembuh."Kata Ibu sambil mulai cemas.Wah,sepertinya kondisiku memang parah.

"Iya.Batalin aja puasanya.Daripada sakitnya makin parah mendingan batalin aja sehari ini.Mudah-mudahan besok udah bisa puasa lagi."Tambah Mbak Rini lagi.

"Aduh, aku masih kuat kok puasanya.Asal aku tidur-tiduran seperti ini terus kan lama-lama maghrib juga."Aku mencoba meyakinkan mereka dan menguatkan diriku sendiri sebenarnya.Payah sekali ini jadinya.Bagaimana aku bisa membuat Ramadan terbaik seumur hidupku kalau hari pertama puasa saja aku sudah setengah mati menahan demam.Apalagi kalau sampai batal.

Aku teringat ada seorang ulama yang mengatakan bahwa ketika Allah memerintahkan manusia untuk berbuat suatu kebaikan, maka Allah pun akan bertanggung jawab untuk membantu manusia itu menyelesaikan kebaikan yang diperintahkan tadi. Aku terapkan mindsetitu untuk menyelesaikan puasaku hari ini. Allah memerintahkanku untuk puasa Ramadan, maka aku yakin sekali Allah pasti akan memberiku kekuatan untuk melaluinya. Walaupun dengan kondisi tubuh yang semakin memprihatinkan.Akhirnya aku berhasil tertidur sejenak.

"Sekarang malah sudah sampai 40 Bu panasnya."Suara mbak Rini membangunkan tidurku lagi.Tanpa terasa dia baru saja kembali mengukur suhu tubuhku.Tampaknya naik dari yang tadi.Pusing di kepalaku memang terasa semakin menjadi-jadi.

"Sudah lah, batalin aja.Besok masih bisa diganti, Lif. Badanmu udah kayak gini."Ibuku meminta demikian terhadapku. Tapi kali ini entah kenapa di tengah kondisiku yang semakin lemah aku punya keyakinan yang kuat bahwa Allah akan memberi kekuatan. Maka aku putuskan bertahan.

Menit demi menit aku lalui. Akhirnya sudah memasuki waktu ashar juga.Aku turun dari tempat tidur mengambil air wudu untuk sholat Ashar.Tak lupa aku kerjakan Rawatib Qabliyahsebelumnya.Harus menjadi Ramadan terbaik. Tentunya dengan segala kadar kepayahan ini. Setelah itu aku kembali tidur.Kali inikepalaku sambil dikompres karena semakin parah kondisinya.Aku kembali tertidur.

"Alif,bangun, Lif. Sudah hampir maghrib. Badanmu gimana?"Lagi-lagi aku dibangunkan oleh suara seseorang.Ternyata mbak Rini masih di sini. Oiya,dia kan mau membawakan obat untukku.

Kondisiku sudah cukup baik walaupun belum bisa disebut normal. Mungkin karena cuaca menjelang maghrib juga relatif lebih adem.

Alhamdulillahakhirnya sebentar lagi aku berhasil melewati hari pertama Ramadanku dengan penuh perjuangan.

Bedug maghrib pun bergema. Adzan maghrib menyusul berkumandang mengisi langit yang jingga di sore itu dengan penuh kedamaian. Satu gelas es teh manis sengaja sudah aku siapkan sebagai hadiah kemenanganku di hari itu. Alhamdulillah luar biasa nikmat yang aku rasakan saat itu.Seakan aku melupakan kondisi tubuhku yang belum pulih.

"Ayo-ayo segera makan nasi lalu minum obat."Kata Ibu sambil menyiapkan piring di meja makan.Selesai sholat maghrib dan sunnahnya, aku makan bersama ayah dan Ibu di meja makan.

"Sudah dibenerin Lif dispensernya?"Tanya Ayah sambil mengambil tahu petis di piring.

"Sudah dong, Pak. Sampai sakit kayak gitu anaknya." Ibu yang menjawab sambil bercanda.

"Malam ini aku tarawih di rumah saja ya.Biar kondisiku benar-benar pulih dan besok bisa puasa lagi." Kataku kepada Ayah dan Ibu.

Beberapa saat kemudian adzan Isya berkumandang.Ayah, Ibu, dan mbak Husna berangkat kemasjid.Sementara aku jaga rumah.Jaga kesehatan lebih tepatnya.

Tak kalah dengan mereka, aku pun mengambil air wudu.Lalu aku mulai mengerjakan ritual malam Ramadan di rumah. Sholat Isya, Rawatib, Tarawih, ditutup dengan Witir. Aku akan berusaha menciptakan Ramadan terbaikku. Walaupun aku tahu tak akan bisa menjadi yang sempurna, namun selama masih bernafas aku akan mencoba menjadi seperti yang Allah minta.

Beratnya hal yang harus aku lalui di hari pertama Ramadan membuat hari-hari selanjutnya menjadi sangat ringan bagiku untuk melaluinya.Tanpa terasa, sudah separuh lebih bulan Ramadan aku lewati.

Tanpa aku sangka, sepanjang hari itu ibadahku benar-benar sempurna tanpa cacat sedikitpun.Bagaimana tidak?Tak pernah terlewatkan sehari pun aku tidak sholat Tahajud, sholat Hajad, sholat Istikhoroh, sholat Duha, sholat Rawatib, sholat Tarawih, sholat Witir, dan beberapa lembar lagi aku khatam Al Quran.Sungguh semua itu adalah ikhtiarku agar aku bisa menjadi auditor sistem informasi.

"Jarkom tim sukses akuntansi! Jadwal Tes Kemampuan Dasar sudah bisa dilihat di website.Registrasi dan pemilihan instansi sudah mulai bisa dieksekusikan di website."Hei ini dia. Akhirnya datang juga pengumuman resmi terkait tes penempatanku.

Tanpa basa-basi ku buka websitenya.Kemudian ku lakukan registrasi dan pemilihan instansi. Tak ada keraguan sedikitpun, ku pilih nama Inspektorat Jenderal Kemenkeu sebagai tempat yang ku inginkan untuk berkarya nanti.

Rupanya diminta memasukkan tiga instansi sebagai pilihannya.Baiklah, ku masukkan dua instansi lainnya lagi yang sama-sama hanya mempunyai kantor di ibukota saja.


 Aku membeli sebuah buku kumpulan soal yang cukup tebal. Jarak menuju hari dimana tes akan diselenggarakan sekitar satu bulan lagi. Sedangkan karena lebaran hanya tinggal sekitar satuminggu lagi, masa bodoh pikirku dengan jadwal ujian yang sudah mepet.Ramadanku harus berakhir dengan sempurna dahulu.Sebelum aku mengkhatamkan buku kumpulan soal tadi, aku harus mengkhatamkan Al Quran terlebih dahulu.Prinsipku, kalau sudah bisa mengambil hati Allah pasti mengambil dunia itu hal mudah.

"Amma yatasaa 'aluun..."

"Lho, Alif sudah mau khatam ngajinya?" tanya Ayah sepulang tarawih saat tidak sengaja mendengar tilawahku di kamar. Ayah memang lebih sering tilawah di masjid setelah tarawih sehingga pulangnyalebih terlambat dari yang lain.

"Iya.Keburu lebaran ini, Yah."Jawabku.

"Ya sudah, Lif.Malam ini dikhatamin dulu.Besok setelah subuh Ayahbacakan doa khatam Al Quran." Kalimat dari Ayahmembuatku semakin terpacu untuk segera mengkhatamkan Al Quran malam ini juga.

Alhamdulillahmasih ada beberapa hari sebelum Ramadan usai, tapi aku telah mengkhatamkan Al Quran. Ayahku membacakanku doa, sementara aku meng-aamiin-kannya.

Barulah setelah itu aku mulai mempelajari dengan sungguh-sungguh buku kumpulan soal yang aku beli beberapa waktu lalu.Sambil tetap aku menjaga rutinitas ibadahku di sepuluh hari terakhir Ramadan.Bahkan justru ku tambah ibadahku dengan sholat Taubat sebelum aku sholat Tahajud, Hajad, dan Istikhoroh di malam hari.Maknanya adalah sebelum kita meminta suatu hal, maka introspeksi lihat diri kita dahulu.Bersihkan diri dari dosa dahulu, baru mulai bermunajad.

Terlebih lagi ada iming-iming malam Lailatul Qadarpada hari-hari tersebut. Ah Masha Allah betapa bahagianya orang yang berhasil meraihnya. Tidak akan ada manusia yang tahu kapan malam Lailatul Qadar datangnya, apakah ia memperolehnya atau tidak, manusia tidak berhak menghakimi sendiri.

Hingga tiba saatnya hari terakhir bulan Ramadan. Betapa bahagianya hari itu mengingat nanti malam suara takbir sudah mulai bersahut-sahutan merayakan kemenangan umat muslim dalam mengalahkan segala nafsunya selama satu bulan penuh. Terkhusus bagiku, itu adalah perayaan kemenangan terbesar seumur hidupku. Aku akan berhasil menciptakan Ramadan terbaik seumur hidupku.

"Alif, nanti siang antar Ayahkepondok pesantren di dekat R.S. Kariadi ya?" Seperti yang biasa aku lakukan di setiap penghujung Ramadan, aku selalu mendampingi Ayahku sebagai amil zakat untuk mengantar beras zakat fitrah ke pondok-pondok pesantren sekitar kota. Tak jauh beda dengan kuli panggul, aku senang bisa membantu Ayah mengangkat berkarung-karung beras.

"Sebenarnya kalau mau, kita juga bisa minta jatah berasnya, Lif.Amil zakat kan memang punya prioritas. Tapi masih ada di sana yang jauh lebih membutuhkan beras itu." Kata Ayahselama perjalanan. "Betul, Yah. Kita bisa bantuin begini saja rasanya udah seneng banget."Jawabku.

"Allahu'akbar Allahu'akbar Allahu'akbar.La'illaha ilallahu Allahu'akbar.Allahu'akbar walillahilhamdu."

Alhamdulillah suara takbir yang dirindukan bergema juga. Usai sudah bulan suci yang dinantikan oleh seluruh umat muslim tersebut. Rasa haru memenuhi seluruh rongga dadaku.Tak dapat aku menyangka.Tak dapat aku menyadarinya.Ini adalah Ramadan dengan ibadah paling sempurna seumur hidupku.Entah kekuatan darimana, bulan Ramadanku yang diawali dengan demam setinggi 40 derajat akhirnya berakhir indah. Sholat fardlu, sunnah Rawatib, Tarawih, Witir, Taubat, Tahajud, Hajad, Istikhoroh, Duha, khatam Al Quran, semua tuntas aku kerjakan. Masha Allah aku terheran dengan diriku sendiri.

Jika dosa yang dilakukan kepada Allah bisa seketika lebur saat Idul Fitri, tapi dosa yang dilakukan kepada manusia belum bisa lebur jikalau belum dimaafkan olehnya.

Untuk menyempurnakan hari rayaku, tak segan-segan aku meminta maaf kepada seluruh orang yang pernah aku temui sepanjang hidupku.Minimal, semua orang yang ada di daftar kontak telepon dan teman facebookku.Aku memohon maaf padanya satu demi satu.Aku yang memang gemar berpuisi sengaja mengutip salah satu lirik lagu sebagai bentuk ucapan maafnya.

"Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi.Aku tenggelam dalam lautan luka dalam.Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang.Aku tanpa maafmu hanyalah butiran debu."

Aku kirimkan kalimat tersebut.

Masih tersisa dua minggu waktuku untuk mempersiapkan tes.Entah kekuatan darimana lagi datangnya, buku kumpulan soal yang begitu tebalnya mampu aku khatamkan hanya dalam waktu kurang dari satu minggu.Bahkan karena waktu masih ada, aku membeli lagi buku kumpulan soal lainnya dan aku sikat habis dalam waktu kurang dari satu minggu pula.Mungkin inilah keajaiban berkah dari memprioritaskan untuk mengkhatamkan Al Quran terlebih dahulu.Aku yang semula hanya membaca satu buku saja sepertinya sudah terlalu banyak dan tebal justru kini aku bisa menghabiskan dua buku.

Jadwal lokasi tes sudah mulai diumumkan. Aku mendapat lokasi di Yogyakarta, sebuah kota yang cukup menarik hatiku karena budaya keseniannya yang kental. Ada seorang kawanku yang rumahnya tak jauh dari sana.

"Assalamualaikum, Vandy. Dapet lokasi tes dimana? Aku di Jogja, boleh nginap di tempatmu?" Ku kirim sms seperti itu kepada kawanku.

Beberapa saat kemudian, dijawab olehnya, "Aku tes di Jogja juga.Boleh, silakan nginap di rumahku.Dipta juga mau nginap kok.Sekalian bisa kumpul, kan udah lama nggakketemu."

Dipta juga salah satu teman dekatku.Dia anak Purwodadi.Senang sekali rasanya kalau kami bertiga bisa kumpul."Wah, sip kalau begitu.Makasih banget lho sebelumnya."Jawabku.

Hari demi hari silih berganti.Sudah semakin tiba waktunya aku harus berangkat.

"Hati-hati,Alif.Jangan lupa berdoa. Jangan kebanyakan main di sana. Ingat,kamu ke sana mau ujian bukan main."Kata Ibu saat aku pamitan berangkatke Jogja. Ayahmengantarkusampai ke terminal, kemudian aku berangkat naik bus Semarang-Jogja.

Tak bisa aku tahan rasa kangenku saat bertemu dua sahabatku itu.

"Tambah gendut aja kamu, Van?haha" aku menyapa Vandy yang memang tampak berbeda.

"Apa nggak salah ini?Sepertinya kamu yang makin bunder, Lif?Oiya, Dipta motornya baru terus, sekarang motor merek android." Jawab Vandi.

"Stiker doang ini, Pak. Daerah rumahmu kayak tempat shooting FTV, banyak sawahnya, hehe."Dipta tak mau kalah juga.Kami bertiga sedang bernostalgia bersama.

Akhirnya tiba saatnya hari ujian dimulai.Tidak ada alasan untukku gagal dalam menghadapi ujian ini.Dari sisi usaha, sudah dua buku kumpulan soal habis aku kerjakan. Dari sisi doa, justru aku berhasil menciptakan Ramadan yang terbaik seumur hidupku. Maka aku datang ke lokasi ujian dengan penuh percaya diri.

Hingga tiba saatnya skenario Allah mulai berjalan tidak sesuai dengan rencanaku.

Aku tekan tombol acak soal pada komputer yang ku pakai untuk ujian.Kemudian muncullah deretan soal yang harus aku kerjakan. Soal macam apa ini? Revolusi Prancis? Tap MPR? Hampir tidak ada soal yang ku pelajari di dua buku tebalku itu yang muncul di situ.Aneh sekali.

Dengan susah payah aku mengerjakan soal itu. Alhamdulillah lulus di atas passing grade dengan nilai yang tidak begitu besar jika dibandingkan dengan Vandy dan Dipta.

Rasa cemas mulai merasuk ke dalam hati.Bisakah aku menjadi auditor sistem informasi di Inspektorat Jenderal Kemenkeu?

"Udah,yang penting lulus dulu aja. Daripada nggak lulus? Katanya ada temen kita yang nggak lulus kasihan tuh." kata Vandy ketika tahu kekhawatiranku saat itu. Baiklah kami bertiga mampir dulu ke Malioboro sebelum pulang.

Jogja memang kota penuh karya seni. Musisi jalanan ada di mana-mana dengan keahliannya yang unik. Coret-coretan kota juga dimana-mana.

"Sejak dulu aku heran, Lif. Gimana caranya mencoret-coret papan petunjuk arah setinggi itu pakai cat pilok seperti itu?" Vandy mengajakku bercanda.

"Ada tekniknya pasti.Namanya juga seniman.Hehe."Aku menjawabnya tanpa berpikir.

Besoknya aku pulang ke Semarang. Ah, walau bagaimanapun aku masih tetap kepikiran dengan hasil tesku.

"Sudahlah, Lif. Disyukuri aja dulu. Daripada nggak lulus tuh. Yang penting kan kamu udah berusaha maksimal. Pasti Allah akan memberi yang paling baik."Kata mbak Husna setelah mendengar ceritaku.

"Iya, mbak.Pengumuman penempatan instansi satu minggu lagi" Ku jawab singkat saja.

"Loh,kok bibirmu merah lagi, Lif?Kamu demam lagi?"Mbak Husna memegang dahiku.Rupanya aku terlalu memikirkan hasil tesku sampai badanku demam.

Aku menunggu satu minggu hasil tesku sambil ditemani oleh demamku yang kali ini tak kunjung turun sampai hampir satu minggu.Hingga tiba hari pengumuman instansi tersebut, barulah demamku sedikit lebih reda.Akankah aku melihat namaku dijajaran instansi Inspektorat Jenderal Kemenkeusebagai auditor sistem informasi?

Aku buka webnya. Aku download datanya. Kemudian aku buka dan baca dengan penuh perhatian.

"DINAR RAFIKHALIF, DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN."



Mataku tak salah membaca ini. Walaupun aku tak tahu instansi apa ini, tapi aku tak memilihnya.Yang aku tahu pasti, ini adalah sebuah instansi yang memiliki kantor vertikal tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, label bekerja di tempat yang jauh akan menghiasi rutinitas hidupku.

“Aku di perbendaharaan, Pak.” Aku menginformasikan nasibku kepada keluargaku.

“Tapi itu bukan pilihanku. Aku sengaja memilih instansi yang tidak punya kantor vertikal biar aku tidak jauh dari sini. Ada banyak hal yang bisa ku lakukan di sini.” Lanjutku.

Selain karena termotivasi menjadi seorang auditor sistem, daftar keinginanku memang banyak sekali jumlahnya. Dan hanya Jakarta adalah kota yang sanggup menyediakan semua itu. Boro-boro menjadi auditor sistem informasi, kini peluangku tinggal di Jakarta semakin sempit. Bahkan untuk bekerja di pulau Jawa saja susah. Kantorku tersebar dimana-mana. Tinggal mana nanti tempatku untuk pertama kali mengabdi. Begitulah kira-kira aku mendapatkan informasi dari seniorku yang sudah bekerja di perbendaharaan.

Aku ceritakan keadaan instansiku kepada keluargaku. Khususnya kepada Ayah dan Ibuku. Aku juga ceritakan bagaimana kondisi pekerjaanku disana. Walaupun ternyata instansiku ini beban kerjanya jauh lebih tidak sibuk dibandingkan instansi yang aku pilih.

Bukan aku menyalahkan hasil pengumumanku ini. Tapi aku masih belum bisa menerima dan masih mencari alasan. Kemana semua doa dan usahaku ini perginya? Berubah jadi apa Ramadan terbaik yang sudah aku ciptakan dengan penuh jerih payah ini?

“Disyukuri aja dulu. Ini pasti adalah tempat terbaikmu pilihan dari Allah. Kamu masih muda, tak apalah jauh sebentar.” Kata Ayah mencoba melegakanku. Namun pikiranku ini memang terlalu sulit diam. Dia terus berputar mencari arti kemana langkahku pergi.

Monolog terhadap diri sendiri berkepanjangan ternyata hanya membuat kalkulasi perasaan memuncak ke arah emosi. Ku salahkan semua orang yang ada terlibat dalam fase kehidupanku ini. Tak lagi aku berpikir tentang kedewasaan sikap. Bahkan aku mulai kurang ajar dan berani memaki Tuhanku.

Apanya yang kurang dengan Ramadanku kemarin? Mana keadilan dan nikmat yang Allah janjikan ketika hamba-Nya senantiasa bertaqwa. Menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan, ah aku tak butuh itu sekarang, semua itu omong kosong bagiku!

“Lif, Ayah masih memaklumi kamu jika marah ke Ayah, Ibu, atau Mbak. Tapi Ayah tidak maafkan kamu kalau kamu berani marah kepada Allah seperti ini. Kamu memalukan Ayahmu di mata Allah karena tak sanggup mendidikmu menjadi laki-laki tegar.” Ayah memarahiku saat mendengar diriku memaki-maki. Yah, itu juga tidak berpengaruh terhadap perasaanku yang sudah terlanjur kecewa berat sama Allah.

Malam pun kian datang. Rona merah di ufuk barat perlahan-lahan menghilang. Cahaya di langit seakan tersapu oleh kelamnya malam. Seperti hilangnya harapan-harapan yang ku gantungkan di langit.

Mataku tak mampu untuk terpejam. Dia selalu menemani kepalaku untuk berpikir. Tepat tengah malam, aku keluar menuju ke teras rumah. Entah apa yang ada dalam pikiranku, aku malas sekali untuk masuk ke rumah. Terlebih lagi Ayah baru saja memberikan teguran keras kepadaku. Aku melamun dan sambil memutar lagu-lagu bernuansa kekecewaan dari ponselku.

Mendadak aku dikagetkan dengan suara pintu ditutup dari dalam. Dan bunyi “klek” yang menandakan pintu itu juga baru saja dikunci dari dalam. Aku terkunci di luar. Tidak. Aku sengaja dikunci di luar. Ini hukuman dari Ayah karena kelakuanku tadi siang.

Tak ada pilihan lain, malam ini aku tidur di luar.

Hari berganti hari. Mau tak mau, diriku harus segera bergegas ke Ibukota untuk pemberkasan dokumen sekaligus perkenalan instansiselama beberapa hari. Kami satu angkatan dikumpulkan dalam sebuah ruangan yang masih asing bagiku. Tepat di depan kami, sebuah slide presentasi yang sangat besar sedang menampilkan gambarpeta indonesia yang sangat besar. Begitu luasnya Indonesia saat itu, entah di sisi sebelah mana pada peta itu nantinya aku akan bertugas.

Perkenalan instansi pun dimulai. Para petinggi Ditjen Perbendaharaan memperkenalkan kepada para calon pegawai baru ini bagaimana seluk beluk kantornya nanti dengan gagah dan wibawa. Namun bagi kami yang masih baru, mungkin justru malah mengerikan.

“Adik-adik, Indonesia itu luas. Jangan takut, di bumi pertiwi tercinta inilah nanti segala kemungkinan dimana adik-adik akan bekerja nanti bisa terjadi.” Pak Galih, seorang pegawai di bagian kepegawaian, menceritakan banyak sekali hal yang bisa didapatkan di organisasi ini.

Masih banyak sekali sebetulnya hal yang membuatku penasaran dan belum tersampaikan pada pemaparan dari Pak Galih. Sesi tanya jawab pun dibuka untuk tiga buah pertanyaan. Tanpa ragu-ragu, aku mengangkat tanganku tinggi untuk menanyakan hal yang sangat mendasar dalam hidupku.

“Terima kasih atas kesempatannya. Pertanyaan saya sederhana sekali, apakah bisa nanti saya yang lulusan D3 Akuntansi ini melanjutkan kuliah S1 jurusan Teknik Informatika?” Walau banyak sekali hal yang membuat kepalaku ini berpikir, namun hanya itulah kalimat yang terucap dari mulutku.

Setelah beberapa pertanyaan lainnya juga ditanyakan oleh para calon pegawai baru, kini giliran Pak Galih yang akan menjawab pertanyaan dariku. “Pertanyaan dari Alif, apakah bisa seorang lulusan D3 Akuntansi melanjutkan kuliah S1 Teknik Informatika di sini? Sangat bisa, Mas! Ditjen Perbendaharaan tidak membatasi pegawainya untuk mengembangkan diri. Silakan mengembangkan potensi yang adik-adik miliki. Kami sangat terbuka dan menyediakan banyak sekali beasiswa untuk itu.”

Masha Allah. Aku terkejut melihat jawaban yang sangat melegakan dari Pak Galih. Setahuku, melanjutkan kuliah saja biasanya dipersulit kantor. Ini justru malah ada beasiswa. Bahkan jurusannya pun tak harus sama dengan sebelumnya. Kami bebas mengembangkan karya.

Setelah beberapa hari mengurus pemberkasan, aku kembali ke rumah.

Aku menceritakan profil singkat Ditjen Perbendaharaan kepada orang tuaku.Terutama untuk perihal beasiswa jawaban dari Pak Galih. Tiba-tiba Ayahku mengatakan sesuatu yang cukup mengejutkanku. “Lif, sebenarnya Ayah dan Ibu lebih tenang kamu masuk di organisasi ini daripada menjadi auditor di Inspektorat Jenderal. Ayah merasakan sendiri betapa repotnya Ayah sebagai kepala sekolah ketika diaudit oleh orang-orang dari inspektorat. Apa yang mereka minta sudah Ayah berikan. Yang sudah benar masih dicari-cari salahnya.”

Ayah diam sejenak, lalu melanjutkan untaian kalimatnya. “Ayah tidak bisa membayangkan jika yang menjadi auditor adalah Alif sendiri. Dari depan auditor memang semua orang bersikap manis, Lif. Tapi kita tidak tahu berapa kali auditor akan membuat sakit hati orang yang diaudit.”

Kemudian Ibu juga turut menambahkan. “Menjadi pegawai Ditjen Perbendaharaan adalah jawaban yang terbaik, Lif. Betapa khawatirnya Ibu melihat di televisi banyak pejabat keuangan yang terjerat kasus pidana. Insha Allah menjadi bendahara negara akan lebih aman karena tugas bendahara yang lebih kecil risiko daripada menjadi pemeriksa.”

Aku mengangguk. Bukan masalah apa yang dikatakan oleh kedua orang tuaku tadi. Namun sepertinya aku baru saja melewati sebuah perjalanan hidup yang tak akan terlupakan dan memberikan pelajaran yang besar.

Aku memang telah menciptakan Ramadan terbaik seumur hidupku. Telah ku laksanakan dengan penuh deru semangat tiap butiran ibadah yang tampak di bulan yang penuh rahmat itu. Laksana kuda perang yang berlari menggebu-gebu dan menderu untuk bertempur di medan perang seperti yang dikisahkan dalam Al Quran surah Al Adiyat. Aku melakukannya dengan sangat sempurna dan tak ada yang salah dengan itu.

Namun aku tersadar bahwa ternyata Ramadan terbaikku tak mampu membeli doa kedua orang tuaku.

            Sekuat apapun usaha dan doa yang sudah aku lakukan, namun jika tak ada restu dari orang tua, maka tak akan ada pula restu dari Allah. Yang terjadi adalah tak akan bisa terlaksana. Karena ridha Allah tergantung dengan ridha orang tua.

            Ayah Ibuku rupanya tak merestui diriku untuk menjadi seorang auditor.

            Bukan, kali ini tidak ada yang salah. Kecuali diriku yang salah. Aku berhasil meyakinkan Allah dengan segala ibadah yang ku lakukan dengan penuh perjuangan selama Ramadan. Aku lawan segala kemalasan dan rasa sakit tak tertahan di hari pertama Ramadanku untuk tetap beribadah. Tapi aku tak berhasil meyakinkan kedua orang tuaku sendiri, itulah kesalahanku.

            Kata para ulama, doa orang tua jauh lebih dahsyat daripada doa seratus ulama itu sendiri. Aku tak percaya itu. Menurutku, doa orang tua nilainya jauh lebih dahsyat daripada doa beribu-ribu ulama. Bahkan doa orang tua mungkin mampu mengalahkan malam yang lebih berharga daripada seribu bulan. Malam Lailatul Qadar di bulan Ramadan.

            Satu tahun berlalu begitu cepat. 

            Sekarang aku telah ditugaskan menjadi verifikator anggaran di sebuah kantor perbendaharaan yang terletak di salah satu sudut nusantara timur. 



            “Alif, bagus banget pemandangannya. Foto dimana?” Tanya Ibuku dari Semarang.

            “Ini gunung yang ada di gambar uang seribu rupiah kertas, Bu.” Jawabku melalui chatting di ponselku. Di sini pemandangan indah ada dimana-mana. Ternate, ibukota Maluku Utara,menjadi tempat yang dipilihkan Allah untukku mengabdi.


            Kini aku selalu berusaha meyakinkan impianku kepada kedua orang tuaku. Impianku kali ini adalah memperoleh beasiswa S1 Teknik Informatika di ITS. “Kalau aku bisa mendapat beasiswa kuliah S1 Teknik Informatika, aku akan menjadi programmer dan pasti akan ditarik ke Jakarta lagi. Dengan begitu aku bisa mengembangkan banyak potensiku lainnya di sana.Aku bisa menjadi penulis,membuka bisnis percetakan buku, menjadi motivator, menjual lagu hasil karyaku di berbagai label di Ibukota, insha Allah aku akan segera sukses dan pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.” Kali ini aku lebih mantap dalam meyakinkan orang tuaku.

            Banyak orang lari kesana kemari mencari ulama dan pemuka agama untuk minta didoakan. Bahkan tak jarang dari mereka yang harus sampai menyeberang lautan atau mengeluarkan jutaan rupiah untuk itu. Mereka melupakan bahwa ternyata di rumahnya sendiri ada dua manusia suci yang diciptakan Allah sebagai perwakilan-Nya di muka bumi. 

Dia adalah Ayah dan Ibu. Jika Allah berkehendak, maka tak ada sehelai daun sekalipun yang jatuh di tengah malam tanpa seizin-Nya. Bahkan menerbitkan dan menenggelamkan matahari setiap hari pun Dia tak kesulitan sedikitpun. Namun Allah menahan semua yang seharusnya mudah bagi-Nya hanya untuk menunggu ridho Ayah dan Ibu. Tentu saja dengan Allah selalu tetapkan banyak skenario indah dibalik segala keputusan itu.

Ku pikir menjadi auditor sistem informasi di Inspektorat Jenderal adalah satu-satunya jalan untuk mengkolaborasikan kemuampuan IT-ku dengan akuntansi. Rupanya aku keliru. Atas ridho dari orang tua, Allah berikan Ditjen Perbendaharaan agar diriku nanti dapat kembali belajar menjadi mahasiswa Teknik Informatika. Semua berawal dari Ramadan yang indah di tahun 2013.

“Alif, jam berapa sekarang di Ternate?”

================end=======================


Suasana perjalanan menuju Ternate, view dari atas pesawat :





Terimakasih, semoga dapat menginspirasi =)




Memproses pencairan dana saja kami begitu bergegas mengejar batas waktu pelayanan...
Demi mencapai indikator kinerja utama dengan nilai yang tinggi...
Namun seringkali kami tak segera bergegas mengejar batas waktu iqamah shalat...
Sehingga pastilah indikator kinerja utama kami di mata Mu sangat mengecewakan...
Ya Allah, maafkanlah kami para pejuang perbendaharaan negara...
Berilah kami kecakapan dunia akhirat laksana Yusuf a.s. sbg bendahara negara mesir...
Aamiin...



 
back to top